Pindah Naik, Kebijakan Tak Mendidik


Akhir tahun pelajaran penuh hiruk pikuk. Para siswa menerima laporan hasil dari pembelajaran selama satu tahun. Sayangnya masih ada saja orang tua yang tidak mau menerima hasil dengan tangan terbuka. Bila ternyata anak mereka tidak naik kelas karena nilai yang tidak mencapai ketuntasan minimal, perilaku yang dianggap kurang baik, atau kurang disiplin. Sebagian orang tua menyikapinya dengan mengajukan pindah dengan permintaan naik. Biasanya pihak sekolah cenderung lebih banyak mengabulkan permohonan semacam itu. Jadilah sang siswa yang seharusnya tinggal kelas tetap naik ke jenjang berikutnya.


Pindah naik tentu bukanlah solusi terbaik. Karena jika terus dibiarkan akan semakin banyak orang tua murid yang menempuh ‘modus’ serupa. Selain itu bagi siswa sendiri dia mesti menghadapi lingkungan baru dan perlu adaptasi. Ini bukanlah persoalan gampang. Sekolah yang menerima siswa pindahan dengan ‘modus’ ini biasanya kualitasnya di bawah sekolah asalnya. Mereka menerima dengan berbagai pertimbangan, salah satunya menambah jumlah peserta didik. Padahal jika dikaji, siswa pindahan semacam ini justru akan merusak harmonisasi dalam kelas yang sudah terbentuk. Perilaku negatif yang dulu dilakukan malah akan memengaruhi siswa lainnya.

Perlu ketegasan dan kerjasama antar sekolah untuk mengurangi praktik pindah naik semacam itu. Agar orang tua atau siswa tidak dengan mudah mengabaikan ketentuan yang mesti dipenuhi seorang siswa untuk naik kelas. Karena jika dibiarkan dampaknya bisa merugikan dunia pendidikan. Orang tua atau siswa merasa punya alternatif jika suatu saat mereka tidak naik kelas. Sehingga evaluasi belajar seolah tidak penting.

Salah satu cara yang bisa dilakukan sekolah ialah mengadakan sosialisasi sejak awal bahwa siswa yang nilainya tidak mencapai ketuntasan atau punya masalah yang berkaitan dengan kelakuan dan kedisiplinan diputuskan tidak naik kelas, tidak ada tawar-menawar lagi. Dengan aturan yang ditetapkan setiap awal tahun pelajaran seperti pemberian poin atas setiap pelanggaran yang dilakukan siswa kemudian dihitung dengan sangsi masing-masing. Sehingga peserta didik akan tahu seberapa banyak poin yang telah dikumpulkan.

Kita sangat berharap pihak sekolah tidak lagi mengambil kebijakan pindah naik hanya untuk kepentingan jangka pendek. Sebab berkaitan dengan nilai-nilai etika dan moral yang jauh lebih penting untuk dijaga ketimbang urusan angka-angka. Begitupun bagi orang tua, laporan hasil belajar menjadi potret prestasi akademik seorang anak. Di satu sisi bisa saja tidak memuaskan, namun tidak lantas diabaikan. Justru dari kondisi semacam itulah orang tua melihat kekurangan dan kelebihan dari anaknya. Kekurangan yang mesti diperbaiki untuk langkah berikutnya. Serta kelebihan yang memang harus dikembangkan, bisa dalam bidang akademik ataupun pun non-akademik. Setiap anak tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Tidak ada komentar untuk "Pindah Naik, Kebijakan Tak Mendidik"